Selasa, 31 Desember 2013

ANALISIS KEBIJAKAN PENANGANAN MASALAH GIZI DIKALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA

Masalah gizi sebenarnya tidak hal baru yang terjadi diKalimantan Timur, Indonesia dan berbagai belahan dunia. Di Indonesia sekitar 45-55% anak-anak di pedesaan pada rentang usia tersebut mengalami "stunting" dan sekitar 10% mengalami "wasting" dan jumlah tersebut tidak berubah selama usia prasekolah. Defisit riboflavin pada remaja di Indonesia 59-96% dan prevalensi gizi

kurang kurus) 17,4%. Masalah gizi di Kalimantan Timur rentan dengan kemiskinan dan pola pengasuh anak-anak oleh keluarga termasuk asuh makan, kesehatan, kebersihan dan bermain. Hasl penelitian pada keluarga miskin di Kalimantan Timur menunjukkan persentase buruk 5,8persen, gizi kurang 10,8 persen, gizi baik 78,3 persen dan gizi lebih 2,5 persen (Saragih,2009). Sungguh ironis memang dengan propinsi kaya masih bergelut dengan kemiskinan dan gizi kurang dan buruk diberbagai daerah. Indikasi ini menunjukkan indeks pembangunan manusia (IPM) masih menyisakan masalah yang rumit yang segera harus ditangani dalam pembangunan kedepan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Timur. 

Dari gambaran kemiskinan dan  masalah gizi menjadi indikasi keberhasilan dalam pembangunan suatu daerah atau bangsa. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa atau daerah ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, memiliki fisik yang tangguh , mental yang kuat dan kesehatan yang prima serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya meningkatkan produktivitas. Pemecahan masalah gizi tentunya memerlukan program kegiatan yang direncanakan secara tepat. Pendekatan topdown dalam perencanaan dan pelaksanaan program dirasakan kurang tepat, mengingat perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta masalah yang dialami. Idealnya perencanaan dan pelaksanaan program dilakukan dengan pendekatan bottom up, dimana masyarakat setempat diharapka nmampu merumuskan permasalahan yang dihadapi kemudian merancannya berdasarkan potensi yang dimilikinya. Pendekatan ini membutuhkan partisipasi masyarakat, sehingga unsur lain diluar masyarakat seperti pemerintah  maupun lembaga yang menaruh perhatian dalam upaya pemecahan masalah dimasyarakat diharapkan lebih banyak bertindak sebagai fasilisator atau dinamisator (Saragih,2008)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates